Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

"Palestina Bukan Urusan Kita"; Menyelisihi Nurani dan Aqidah

Sabtu, 05 Juni 2021 | Juni 05, 2021 WIB Last Updated 2021-06-05T11:50:42Z


Ket Gambar : Jusmin Juan (Kastra Gema Pembebasan Kolaka)


Oleh : Jusmin Juan (KASTRA GEMA Pembebasan Daerah Kolaka)


Sejak pendudukan lsrael tahun 1948, derita Palestina belum redup dari kedzaliman dan ketertindasan Zionis lsrael. Menurut Uri Milstein, pakar ternama sejarah militer Israel, mengatakan setiap penyerangan Zionis Israel berujung dengan pembantaian massal warga Arab. Bahkan sejak kependudukan pertamanya, telah tercatat sejumlah pembantaian.


Berawal dari Pembantaian Sa'sa', 14 Februari 1938, menelan 60 orang korban dan 20 rumah hancur. Dua tahun sebelum pendirian negara Israel, peledakan pun kembali terjadi di Hotel Malik Daud, 12 Juli 1946 menewaskan 90 orang dan 45 orang terluka parah. Pada tahun 1947, terjadi tiga tragedi pembantaian keji selama setahun. Pembantaian Yehida, Khisas dan pembantaian Qazaza. Penindasan itu terus berlanjut dari tahun ke tahun, yang semakin menambah kesengsaraan kaum Muslim di Gaza. Celakanya, tahun 1948 harapan bebas itu sirna seketika, tatkala pendudukan Israel di tanah Palestina sehingga menambah duri derita kaum muslim.


Jika diperhatikan kelumit konflik Palestina, boleh dikata penindasan ini bukan sekedar asbab Humanity belaka. Akan tetapi ada faktor lain, dengan ini kaum Muslim sepakat menyebutnya konflik akidah.


Dalam pandangan Islam, Syam adalah tanah milik kaum muslim. Hal itu dibenarkan saat kunci al-Quds telah diserahkan kepada Khalifah Umar bin Khattab. Adapun visi pembebasan harus tetap ditunaikan karena keutamaan al-Quds yang berharga dimata kaum Muslim. Dari sudut pandang akidah saja, al-Quds adalah Emas ketiga bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Wujud keimanan berupa keta'atan kepada Allah dan Rasul-nya untuk melindungi seluruh kaum muslim.


Mengenai aspek history-nya, pembebasan negeri Syam dari cengkeraman imperium Romawi selama tujuh abad (64 SM - 637 M) merupakan cita-cita agung yang digelorakan langsung oleh Rasulullah Saw. Salah satu sahabat Nabi Saw mendengar seruan itu terlontar kepadanya.


Rasulullah Saw. bersabda:

"Muadz! Allah yang Maha Kuasa akan membuat kalian sanggup menaklukkan Syam, setelah kematianku..."


Namun perjuangan panjang lagi melelahkan itu baru terwujud pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a (638 M).


Ketika kekuasaan itu berada ditangan Kekhalifahan Abbasiyah, Paulus Urbanus II menyerukan perang Salib tanggal 25 November 1095. Walhasil, tahun 1099 al-Quds ditaklukkan pasukan Salib. Mereka membantai sekitar 30.000 warga al-Quds dengan keji tanpa pandang bulu.


Singkat kisah, pada tahun 1187, Salahuddin al-Ayyubi-lah yang mengakhiri pendudukan pasukan Salib selama sekitar 88 tahun (1099-1187). 


Penjelasan tersebut baru sampai dalam ranah sejarah. Bagaimana hegemoni barat melanggengkan penjajahan Israel belum kelar diperbincangkan, meskipun ramai dibicarakan. Dialog mereka tak sampai menyentuh akar terdalamnya, akan tetapi masih mengudara dipermukaan akar liar.


Kaum muslim harus paham, bahwa konflik Humanity masih separuh bagiannya. Oleh karenanya belum complete jikalau diemban sebagai dasar perubahan. Kependudukan lsrael tidak terlepas dari dukungan dan sokongan kaum Imperialis Barat, menandai adanya keterlibatan aspek politis ke dalam konflik yang merupakan bangunan penjajah.


Kekeliruan tersebut merambat hingga melilit kaum Muslim agar meyakini nasionalisme. Mereka terjerat sekat-sekat hingga bermunculanlah paham Humanity itu. Penindasan bukan masalah kita, "Palestina bukan urusan kita" adalah turunan pemahaman bahwa konflik Palestina sekedar kemanusiaan.


Pengaruh kemunculan ide negara Zionis oleh Theodor Hertzl yang tergambar dalam bukunya "Der Judenstaad" (The Jewish State) cukup menjadi bukti fisik perlawanan kemanusiaan sekaligus wujud keimanan dari bangunan akidah seorang Muslim. Jadi, jelas bahwa Ungkapan bodoh "Palestina bukan urusan kita" menyelisihi Nurani dan Akidah. Taktik pengaturan Hertzl mangakibatkan pemimpin negeri Muslim berani menutup mulut. Kalimat-kalimat semacam itu merupakan buah dari berlepas dirinya mereka mengurusi kaum Muslim. Mereka meninggalkan tanggungjawab besar menjaga kaum Muslim. Mereka menanggalkan akidahnya.


Lantas siapa yang mampu bangkit dan melawan ketertindasan ini?


Allah Swt, berfirman :

اِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحًا مُّبِيۡنًا (  ) لِّيَـغۡفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡۢبِكَ وَ مَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعۡمَتَهٗ عَلَيۡكَ وَيَهۡدِيَكَ صِرَاطًا مُّسۡتَقِيۡمًا (  )


Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan menunjukimu ke jalan yang lurus. (QS. Al-Fath [48] : 1-2)


Untuk meraih kemenangan atas pembebasan, Pemimpin negeri saja tidak cukup. Maka dibutuhkan pemimpin Daulah (negara). Pemerintahan dalam Skala besar, bukan ecek-ecek yang pahamnya sekedar mengecam. Umat membutuhkan Khilafah, yang memiliki keimanan yakni hubungan kuat dengan Allah SWT. Dengannya khalifah mengirimkan pasukan kaum Muslim untuk membebaskan tanah Palestina dengan penuh keyakinan. 


Mengapa? Sebab pemerintahan negeri kecil hanya berdiri dibawah ketiak dan tekuk lutut penjajah. Mereka membantu tiap gerakan penjajah, bukan menghalangi langkah tetapi malah terikut menyetujuinya. Jelas, Dzalim.


Qiyadah Fikriyah Islam-lah (Kepemimpinan Berfikir Islam) yang mampu menuntaskan seluruh problematika umat, saat kaum muslim mengemban ideologi Islam, disaat itu pula kaum muslim memiliki Kepemimpinan Berpikir dan ikatan akidah yang benar. Berlindung dibawah panji La ilaha illallah. Sehingga pertolongan dan futuhat (pembebasan) bukanlah hal yang harus dicerna dua kali.

×
Berita Terbaru Update